Beranda | Artikel
Istri Shalihah Tidak Menyulitkan Suami Dengan Nafkah
Rabu, 13 Januari 2021

Bersama Pemateri :
Ustadz Ahmad Zainuddin

Istri Shalihah Tidak Menyulitkan Suami Dengan Nafkah adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Risalah Penting Untuk Muslimah, sebuah kitab buah karya Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr Hafidzahullah. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc. pada Rabu, 29 Jumadil Awal 1442 H / 13 Januari 2021 M.

Kajian Islam Tentang Istri Shalihah Tidak Menyulitkan Suami Dengan Nafkah

Dan dari sifat-sifat istri yang shalihah adalah tidak menyulitkan suami dengan nafkah. Artinya artinya adalah sang istri tidak berlebih-lebihan meminta nafkah kepada suaminya diluar batas kemampuan suami, diluar kewajaran nafkah, terlalu ingin bermewah-mewah, terlalu ingin berpakaian dengan pakaian yang mahal-mahal, terlalu ingin tinggil di rumah megah. Istri yang shalihah tidak meminta kepada suami akan hal tersebut.

Dan tidak menjadi alat untuk berlebih-lebihan terhadap penghambur-hamburan harta suami. Tetapi dia sederhana sebagaimana disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا ﴿٦٧﴾

Dan orang-orang yang jika bersedekah, dia tidak berlebih-lebihan dan tidak mendatangkan sifat melampaui batas, tetapi di antara hal itu, yaitu dia tegak di tengah-tengah.” (QS. Al-Furqan[25]: 67)

Dan hendaklah kita perhatikan di dalam perkara ini apa yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu dan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam suatu saat berkhutbah dengan sebuah khutbah yang beliau panjangkan di dalam khutbah tersebut. Beliau menyebutkan didalamnya perkara dunia dan akhirat. Lalu beliau menyebutkan bahwa pertama kali yang menghancurkan Bani Israil adalah ada seorang perempuan miskin dan dia terlalu membebani dirinya dengan pakaian dan juga perhiasan sebagaimana seorang perempuan yang kaya.

Jadi ada wanita miskin ingin seperti wanita yang kaya. Akhirnya dia memaksakan diri dalam penampilan. Ini salah satu penyebab hancurnya Bani Israil. Maksudnya mereka terhempas dari jalan yang benar, mereka tidak melakukan sesuai dengan petunjuk agama.

Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan bahwa ada seorang perempuan dari Bani Israil yang badannya pendek. Dia mengambil sepatu berhak tinggi (high heels) dan dia memakai cincin yang di dalam cincin tersebut ada semacam penutup yang diberi minyak wangi. Lalu perempuan ini berjalan di antara dua perempuan yang tinggi dan yang besar-besar. Karena dia menggunakan high heels, sehingga tingginya sama. Jadi hanya untuk sebatas penampilan.

Lalu Bani Israil mengutus seseorang untuk mengikuti perempuan yang tiga tadi; dua benar-benar tinggi dan yang satu pendek tapi menggunakan high heels. Seseorang yang mengikuti ini tidak mengikuti bahwa salah satu di antara tiga wanita itu tidak tinggi sebenarnya.

Maka Syaikh mengatakan bahwa yang pertama kali menyebabkan hancurnya Bani Israil adalah seorang wanita miskin yang dia membebani suaminya dengan perhiasan-perhiasan sebagaimana yang dipakai oleh wanita-wanita kaya ketika meminta kepada suaminya. Kemudian perhatikan apa yang dilakukan oleh wanita miskin yang pendek ini. Yaitu berupa terlalu berlebih-lebihan, terlalu foya-foya, menghambur-hamburkan harta dibarengi dengan penipuan dan tidak puas dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah takdirkan untuknya.

Dan alangkah samanya sepatu-sepatu hak tinggi di zaman sekarang dengan yang tadi disebutkan. Memang asal hukum sepatu tinggi boleh saja dipakai. Tetapi lebih baik dijauhi, karena:

  1. menunjukkan seseorang tidak puas dengan pemberian Allah,
  2. dia menyerupakan diri dengan wanita-wanita Bani Israil,
  3. dia menyerupakan diri dengan wanita-wanita yang pada zaman itu terkenal dengan wanita-wanita pelacur,
  4. dia juga tidak sesuai dengan kesehatan.

Dan telah datang dalam komite tetap untuk fatwa apa yang disebut, yaitu memakai sepatu hak tinggi tidak diperbolehkan. Karena hal ini menyebabkan seorang perempuan terjatuh. Dan seorang manusia diperintahkan oleh syariat untuk menjauhi bahaya-bahaya dengan semisal keumuman firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

Dan janganlah kamu letakkan tangan-tanganmu kepada kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah[2]: 195)

Dan termasuk hal yang terlarang juga dari pemakaian sepatu hak tinggi adalah dia memperlihatkan tinggi dan pinggulnya perempuan yang lebih banyak daripada semestinya. Di dalam hal ini terdapat penipuan dan memperlihatkan sebagian keindahan dirinya yang seorang perempuan dilarang untuk memperlihatkannya.

Kita kembali kepada masalah asal. Bahwasanya seorang perempuan tidak menyulitkan suami dalam perihal nafkah. Memang kita tahu bersama bahwasanya nafkah adalah wajib atas suami. Memberikan makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan seluruh yang diperlukan oleh istri untuk hidupnya. Dan seorang suami bisa menjadi pemimpin di rumah tangga apabila dia memberikan nafkah dengan baik kepada istrinya. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّـهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ…

Para lelaki pemimpin atas istri-istrinya dengan sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan sebagian lelaki di atas sebagian perempuan dan dengan sebab apa yang sudah disedekahkan oleh suami dari harta-harta mereka dari istri-istri mereka.” (QS. An-Nisa[4]: 34)

Maka berdasarkan dalil dari Al-Qur’an, hadits, ijma’ dan juga logika, bahwa suami wajib menafkahi. Tetapi harus diingat baik-baik, bahwasanya kewajiban menafkahi istri adalah sesuai dengan kelapangan suami. Imam Al-Baghawi di dalam kitab beliau Syarhus Sunnah mengatakan, bahwa Imam Al-Khattabi mengatakan:

في هذا إيجاب النفقة والكسوة لها، وهو على قدر وُسع الزوج

“Di dalam ayat ini dan hadits-hadits tentang wajibnya menafkahi istri, terdapat kewajiban menafkahi dan memberikan pakaian kepada istri sesuai dengan kemampuan suami.”

Ini pendapat yang lebih kuat, bahwa menafkahi istri sesuai dengan kemampuan suami, bukan sesuai dengan kehendak istri.

Bagaimana penjelasan dan nasihat para ulama tentang wanita yang tidak bisa melahirkan anak? Apakah ini adalah aib? Download mp3 kajian dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini..

Download mp3 Kajian Istri Shalihah Tidak Menyulitkan Suami Dengan Nafkah


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/49631-istri-shalihah-tidak-menyulitkan-suami-dengan-nafkah/